Karena itu, katanya, strategi peningkatan kualitas udara lewat pengendalian emisi harus segera dijalankan. Ini mencakup deteksi kualitas udara secara sistematis, survei kondisi lapangan, dan penerapan kontrol emisi industri, demi menurunkan dampak kesehatan dan ekonomi secara berkelanjutan.
Namun, aktivitas industri berbasis energi fosil masih menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus pencemar udara. Polutan berbahaya seperti PM2.5, PM10, NO₂, SO₂, dan CO tidak hanya memperburuk kualitas lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular.
“Polusi udara berdampak langsung pada kesehatan. Polisi udara menyebabkan biaya rawat jalan dan inap akibat penyakit pernapasan melonjak," ujar Direktur Kesehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, dr. Then Suyanti.
Menurutnya, penyakit seperti pneumonia, ISPA, PPOK, hingga kanker paru memakan biaya paling tinggi dalam anggaran JKN, dengan pneumonia sendiri mencapai sekitar Rp8,7 triliun. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri, Polusi udara dari industri baja memiliki dampak serius terhadap kesehatan.
Tema Racing for Air tahun ini menegaskan urgensi percepatan transformasi industri menuju praktik yang lebih hijau. Dekarbonisasi bukan hanya langkah teknis untuk mencapai target iklim, tetapi juga investasi langsung bagi kesehatan masyarakat dan keberlanjutan pembangunan nasional.