Rencana tersebut digadang-gadang menghasilkan keuntungan tanpa menggunakan dana pemerintah AS, berbeda dengan Yayasan Kemanusiaan Gaza yang mengandalkan donasi dan kontraktor keamanan swasta. Trust ini diharapkan menarik investasi publik dan swasta untuk proyek besar mulai dari pabrik kendaraan listrik, pusat data, resor pantai, hingga apartemen bertingkat.
Perhitungan proyeksi menyebut investasi 100 miliar dolar AS (Rp1.646,8 triliun) akan berlipat hampir empat kali dalam satu dekade, ditopang pendapatan mandiri. Sebagian detail sebelumnya sudah dilaporkan Financial Times.
Rencana itu juga membayangkan Israel menyerahkan “wewenang administratif dan tanggung jawab di Gaza kepada GREAT Trust berdasarkan perjanjian bilateral AS-Israel,” yang kelak berkembang menjadi badan multilateral dengan dukungan investasi Arab dan pihak lain.
Trust tersebut akan mengelola Gaza sekitar 10 tahun “hingga entitas Palestina yang direformasi dan dideradikalisasi siap mengambil alih,” tanpa menyebut negara Palestina, hanya menyinggung bahwa entitas masa depan itu “akan bergabung dengan Abraham Accords.”
Profesor hukum Rutgers Adil Haque memperingatkan setiap skema yang mencegah warga Palestina kembali ke rumahnya atau gagal menyediakan pangan, layanan kesehatan, dan tempat tinggal layak akan tetap melanggar hukum, “terlepas dari imbalan tunai yang ditawarkan.”